Minggu pagi, anak pertama saya, Kanz Makhfiy Herudian (17 tahun), berbisik pada saya, “Ayah, hari ini beli pisang, ya.” Tidak hanya itu, anak kedua dan ketiga saya juga menyampaikan hal yang sama, “Ayah, pisangnya habis!” Istri saya kemudian menegaskan bahwa anak-anak setiap harinya makan 1-4 pisang. “Pantas saja, pisang satu epek yang selalu saya sediakan sehari pasti habis. Ternyata yang memakan anak-anakku.” Saya pun tersenyum puas.
Pertanyannya adalah apakah sejak awal anak-anak saya suka makan pisang? Jawabannya tidak. Kita semua pasti tahu sebabnya. Anak-anak sekarang lidahnya lebih familiar dengan makanan ciki-cikian daripada buah-buahan. Saya pun memutar kembali pengalaman terkait perjuangan membiasakan makan pisang pada anak-anak.
Dimulai dari kesadaran saya dan istri bahwa buah-buahan jadi makanan penting untuk tubuh kita. Hampir setiap hari saya membiasakan makan buah. Pisang pun menjadi buah favorit saya karena murah dan gizinya sangat tinggi. Setiap hari saya membeli pisang dan menaruhnya di meja makan. Tapi, anak-anak tidak ada yang memakannya. Kalau pun memakan paling cuma sekadarnya saja.
Saya pun kemudian tergerak untuk mengajak anak-anak mulai memakan pisang. Tapi, ajakan itu sia-sia. Awalnya anak antusias, tetapi kemudian lupa. Nasib buah pisang kemudian terbengkalai kembali. Saya tidak putus asa. Saya lanjutkan dengan mengenalkan keistimewaan buah pisang. Buah pisang itu sangat bergizi. Sering makan buah pisang bisa bikin cerdas. Buah pisang bisa membuat energi berlipat.
Dari propaganda soal gizi buah pisang ini, anak-anak kemudian mengecek kebenaran fakta gizi dalam buah pisang. Suatu ketika Kak Mafi bilang, “Ternyata buah pisang mengandung kalium yang tinggi.” Tidak hanya itu, anak-anak juga menghubungkan dengan pengalamannya masing-masing. Kak Zakka bilang, “Di warung sekolah bulu tangkisku jualan pisang. Katanya pisang sangat baik dimakan saat latihan bulu tangkis.” Kak Zakka bilang, “Pelatih sepak bolaku menyuruhku untuk makan pisang setiap hari.”
Dari situlah, anak-anak kemudian mulai rutin memakan buah pisang. Buah pisang yang setiap hari saya sediakan pun habis. Jika saya lupa membeli, maka anak-anak akan berkomentar, “Ayah, kapan beli pisang?” Tidak hanya itu, anak-anak pun sudah mulai punya jenis pisang yang diidolakan. Anak-anak suka buah pisang ambon buah gading. Pisang kini menjadi buah idola di rumah saya. (Heru Kurniawan, Relawan Rumah Kreatif Wadas Kelir)