Saya akan cerita pengalaman yang membangun kesadaran dengan menakjubkan. Saya mulai dari cerita di keluarga saya sendiri. Di rumah, saya membiasakan untuk tidak minum es dan tidak makan mie instan. Saya pun berusaha meneladankan kebiasaan ini pada anak-anak, sekalipun anak-anak sering protes, bahkan melanggar. Tapi, saya tetap tidak henti meneladankan dan mengampanyekan pada anak-anak.
Suatu ketika, anak-anak saya ikut kegiatan berenang bersama teman-temannya. Saat itu saya tersadar. Usai berenang, semua anak makan mie instan dan minum es krim, sedangkan anak-anak saya tidak. Anak-anak saya ditawari mie instan dan es krim. Tapi, mereka menolak karena meyakini bahwa mie instan dan es krim tidak baik bagi tubuhnya.
Di sekolah pun anak-anak sering cerita pada saya kalau teman-temannya suka jajan es krim, tetapi anak-anak saya tidak ikut-ikutan, sekalipun di rumah anak-anak sering protes kenapa saya melarang makan mie instan dan es krim.
Di sinilah saya menyadari bahwa anak-anak diam-diam meneladani orang tuanya.
Cerita selanjutnya datang dari novel yang saya baca, novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami. Dalam novel itu ada bagian yang menceritakan Watanabe yang satu kamar dengan Kopasgat. Kopasgat adalah remaja yang unik dan aneh sehingga tidak disukai teman-temannya di asrama, termasuk Watanabe. Tapi, Kopasgat punya kebiasaan baik. Ia hidup disiplin, suka merapikan kamar, bersih-bersih, dan teratur. Awalnya Watanabe tidak peduli dengan apa yang dilakukan Kopasgat.
Tapi, saat Watanabe pindah tempat tinggal. Tinggal di apartemen yang baru sendirian, apa yang dilakukan oleh Kopasgat ditiru oleh Watanabe. Watanabe menjadi sosok yang disiplin, suka bersih-bersih, merawat, dan merapikan rumah. Watanabe mengakui semuanya terinspirasi dari Kopasgat. Pemilik apartemen pun suka dengan Watanabe. Kebiasaan ini diakui oleh Watanabe karena keteladanan Kopasgat yang tidak ia sukai, tetapi diteladani kebiasaan baiknya.
Di sinilah saya menyadari bahwa meneladani kebaikan tidak hanya pada orang yang kita sukai, bisa juga pada orang yang tidak kita sukai.
Saya sendiri pun punya pengalaman. Salah satu hal yang saya tidak suka dari ayah saya adalah banyak ceramah dan menasihati saat saya melakukan kesalahan. Namun, walaupun saya tidak suka dengan kebiasaan ayah saya, ternyata saat saya punya anak, saya pun melakukan hal yang sama. Saya suka ceramah dan menasihati panjang lebar terhadap anak-anak saya saat mereka melakukan kesalahan. Saya pun yakin bahwa anak-anak sangat tidak suka dengan ceramah dan nasihat saya.
Namun, ternyata saya tidak bisa menghindari keteladanan ayah saya, sekalipun keteladanan itu tidak saya sukai. Di sini, saya menyadari keteladanan tidak hanya soal yang kita sukai, bisa jadi yang tidak kita suka pun akan kita lakukan.
Inilah hebatnya pendidikan keteladanan. Sesuatu yang kita lakukan terus menerus tidak hanya berdampak pada diri kita, tetapi juga pada orang di sekeliling kita. Tidak peduli apa yang kita lakukan, baik atau tidak, suka atau tidak suka, tetapi yang jelas kebiasaan keteladanan kita akan diikuti oleh orang-orang di sekeliling kita.
Inilah kemudian yang saya pakai dalam mengajar dan mendidik relawan Rumah Kreatif Wadas Kelir. Saya berusaha meneladankan dalam melakukan kebiasaan baik secara terus menerus. Saya meyakini, sekalipun saat ini relawan menganggap tidak penting atas sesuatu yang saya lakukan dan biasakan, tetapi saya yakin kelak mereka pasti akan melakukannya juga.
Inilah mekanisme keteladanan dalam pendidikan yang harus kita jaga dengan baik. (Heru Kurniawan, Founder Rumah Kreatif Wadas Kelir)
1 komentar untuk “Mekanisme Keteladanan dalam Pendidikan”
Sangat menginspirasi
Pasti jadi teladan bagi anak2 lain