Suatu hari istri saya bercerita soal dialog ringkasnya dengan Keila (8 tahun), anak kami yang baru kelas dua Madrasah Ibtidaiyah. Saat istri di dapur tiba-tiba Keila datang dengan langsung mengajukan pertanyaan, “Bu, kita itu sebenarnya orang kaya atau orang miskin?”
Tentu saja, mendadak dapat pertanyaan seperti itu, istri bingung. Istri menjawab asal sambil memasak, “Kita ini keluarga sederhana, Keila.” Keila tidak terima dengan dengan jawaban ibunya. Keila pun protes, “Pertanyaannya, kita itu orang kaya atau orang miskin. Bukan orang sederhana!”
Istri menghentikan aktivitas memasaknya. Ia menatap Keila dengan rasa penasaran. Lalu menjawab, “Kadang kita kaya. Kadang kita juga miskin.” Keila semakin menunjukkan ekspresi marahnya. “Ibu, jawabannya jangan dua. Jawabnya satu saja. Kita itu kaya atau miskin?”
Istri semakin kaget dan tidak mengerti arah pertanyaan Keila. Istri kemudian menjawab, “Iya, kita itu keluarga kaya.” Keila langsung menatap tabung gas yang bertuliskan: “Hanya untuk Masyarakat Miskin”. Keila pun berkomentar, “Kok, Ibu beli gasnya yang untuk orang miskin.” Istri langsung tersipu malu.
Itulah bahasa kritis anak-anak kita. Bahasa jujur yang suatu saat bisa saja terlontar karena tidak sesuainya keadaan dengan kenyataan. Bahasa yang harus kita terima dan renungkan dengan baik karena orang tua sering mengabaikannya.
4 komentar untuk “Dialog Kritis Anak dengan Ibunya”
Pengalaman yang sama dengan yang saya alami Pak Guru Heru. Saat itu dia juga lama menatap tabung gas sambil berkata, “Pak, ini kan untuk orang miskin. Kok, bapak beli ini, sih.”
Tentu saja jawaban yang baik kita katakan sebenarnya dengan bahasa yang mudah dipahami anak. Jika itu kesalahan kita, ya, kita katakan kita salah. Tujuannya agar anak memahami informasi dan nilai dengan baik
Jadi seharusnya jawaban yang baik menjawab pertanyaan mba Keila seperti apa?
Saya jawab dengan jujur bahwa itu kesalahan kami Mbak Triana sekaligus ditambah karena di warung sebelah adanya tabung gas yang ini hehe