Saat Pisang Menyatukan Kami

Anak-anak saya sangat suka dengan buah pisang. Hampir setiap hari, satu epek pisang saya sediakan, dan selalu habis. Tidak heran setiap hari saya selalu membeli pisang di Pasar Wage. Ada dua langganan penjual pisang pilihan saya: penjual bapak-bapak yang buka mulai pukul 05.00-10.00 WIB dan penjual ibu-ibu yang buka pukul 07.00-15.00 WIB.

Tentu saja, jika saya membeli pisang pagi hari, pilihan saya ada pada penjual langganan bapak-bapak. Tapi, jika saya membeli pisang siang sampai menjelang sore, pilihan saya ada pada penjual pisang ibu-ibu. Karena intensitas saya sering, maka kedua penjual pisang itu sangat kenal dengan saya. Sampai saya mendapat sebutan nama yang khas.

Bapak penjual pisang itu sering menyebut saya Mas Ganteng, dan sering juga menyebut Bos Ganteng. Bagi saya tidak masalah antara Mas atau Bos, yang penting ganteng atau tampannya tidak hilang. Sedangkan ibu penjual pisang itu sering menyebut saya Mas Langganan. Saya tidak protes atas sebutan itu sebab sampai hari ini mereka juga tidak tahu nama asli saya. Begitu juga sebaliknya, saya tidak tahu nama keduanya. Yang jelas kami saling kenal karena pisang. Pisang menyatukan kami dalam transaksi jual beli yang unik.

Tahu tidak?

Sampai hari ini, sekalipun keduanya langganan saya, tetapi keduanya tidak saling tahu. Saya tidak pernah cerita pada Ibu Penjual Pisang tentang Bapak Penjual Pisang. Begitu juga, saya tidak pernah cerita pada Bapak Penjual Pisang tentang Ibu Penjual Pisang. Padahal, jarak antara keduanya tidak jauh. Sekitar 10-20 meter dan terpisahkan oleh rumah warga. Demi menjaga rahasia ini, saya sampai melakukan tindakan bodoh.

Jika habis beli pisang di Bapak Penjual Pisang, maka saya pulangnya jangan sampai di depan Ibu Penjual Pisang. Begitu juga sebaliknya. Tentu saja, saya lakukan ini demi menjaga perasaan keduanya. Bukan dengan maksud mendua, tetapi sekadar tidak ingin melukai keduanya. Bagi saya, kedua penjual pisang itu adalah pahlawan. Pahlawan bagi anak-anak dan keluarga. Mereka berdua adalah penyuplai gizi terbaik bagi kehidupan keluarga saya.

Nah, salah satu tindakan bodoh yang selalu saya perintahkan pada istri adalah kalau membeli pisang jangan menawar. Jika harga satu epek pisang ditawarkan dengan dua puluh lima ribu, maka kami membayar dua puluh lima ribu. Jika tiga puluh ribu, kami membayar tiga puluh ribu.

Pernah suatu kali saya membuat WhatsApp Story terkait harga pisang yang saya beli. Salah satu teman berkomentar: itu terlalu mahal. Saya pun pura-pura setuju sebatas untuk menghormatinya. Tapi sesungguhnya, saya lebih berpihak penjual pisang. Istri pun sempat bertanya dan protes: kenapa tidak ditawar? Saya tidak merespon sama sekali. Istri sudah tahu aturannya. Jika dia bertanya dan saya tidak menjawab itu berarti tidak penting.

Lalu apa yang terjadi?

Kalau boleh saya katakan kenapa saya tidak menawar, bagi saya, dalam kegiatan jual beli itu harus ada unsur ibadahnya. Salah satunya tidak menawar harga. Apalagi barang yang saya beli itu pisang. Buah yang sangat penting dan berharga buat keluarga saya. Jadi saya merasa tidak punya alasan untuk menawar.

Barang kali, karena saya tidak pernah menawar, lama-kelamaan dua penjual ini kenal dengan saya. Dan kami pun sering sok akrab dan terlibat dalam pembicaraan serius soal pisang. Sampai-sampai, dua penjual pisang itu tiba-tiba kompak selalu menurunkan harga sendiri. Ibu Penjual Pisang sering berkata harga pisangnya tiga puluh ribu, tapi dua puluh lima ribu saja buat Mas Langganan. Atau, Bapak Penjual Pisang berkata: ini pisang dua puluh lima ribu, tapi dua puluh ribu saja. Tidak hanya itu, saya sering diberi bonus pisang tambahannya. Saat mendapatkan kenyataan itu, istri yang awalnya protes karena saya tidak pernah menawar, kini sudah tahu jawabannya.

Iya, inilah kehidupan sederna yang telah jadi bagian hidup saya setiap hari. Selalu bersua dengan satu di antara dua Pedagang Pisang yang menjadi idola saya. Semoga selalu sehat dan dimudahkan dalam segala urusan dan rezekinya. Entah sampai kapan hubungan kami sebagai penggemar pisang akan terus berlangsung.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest

2 komentar untuk “Saat Pisang Menyatukan Kami”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pencarian

Kategori

Postingan Terbaru

Scroll to Top