Saya menulis pengalaman ini sekadar mengajak kita untuk merenung saja. Tidak lebih dari itu. Semoga dalam renungan itu ada hal baik yang bisa kita dapat. Salah satunya merenungkan keberadaan puasa sunnah, apapun jenis puasa yang kita lakukan. Ini saya akan cerita soal puasa senin dan kamis yang saya lakukan saat menunaikan ibadah umroh.
Saya mulai dari sini. Perjalanan ke Jakarta sebelum kemudian terbang ke Makkah saya berpuasa. Tapi, karena rombongan mengajak makan siang, saya pun ikut makan siang. Lalu kembali lanjutkan puasa sampai tiba di Jakarta saat waktu berbuka tiba. Esok hari kemudian melanjutkan perjalanan ke Makkah.
Saat di Makkah, setelah aktivitas ibadah umroh dan ziarah yang panjang, beberapa puasa saya batalkan. Tentu saja, tidak semua orang tahu. Saya berpuasa bukan karena saya alim-ahli puasa. Tidak sama sekali. Saya masih jauh dari alim dan ahli puasa.
Saya berpuasa karena dengan berpuasa saya merasakan tubuh saya lebih enak saat lapar. Enak untuk diajak bekerja dan terasa sehat dan bugar. Dan yang lebih membahagiakan, beribadah dalam keadaan lapar itu mudah sekali membuat air mata membasahi pipi. Itu rasanya nikmat.
Nah, akhirnya tiba saat puasa saya bisa penuh sehari. Sebabnya hari itu, tepatnya hari Senin, dalam umroh saya tidak ada acara. Sejak pagi sampai sore pun saya puasa tanpa ada yang tahu. Sampai kemudian tibalah waktu menjelang Maghrib.
Satu jam sebelum Maghrib, saya bersiap untuk pergi ke Masjidil Haram. Niatnya dari Maghrib sampai Isya akan stay di sana. Pertanyaan muncul: bagaimana caranya berbuka puasa. Saya pun membawa botol mineral kecil berisi air zamzam untuk minum dan tiga biji kurna yang saya bungkus dengan tisu. Cukuplah ini untuk mengganjal perutku selama Maghrib sampai Isya.
Berangkatlah saya ke Masjidl Haram. Sepanjang jalan saya melihat banyak orang membagikan roti dan kurma. Saya langsung paham ini kan hari Senin. Itu pasti sedekah untuk orang yang berpuasa. Saya pun bertanya pada petugas keamanan, apakah boleh berbuka puasa di masjid? Petugas itu menjawab boleh. Saya senang, selepas Maghrib bisa buka dengan tiga biji kurma.
Tapi, jujur, sepanjang jalan saya ingin mendapatkan roti dan kurma yang banyak dibagikan. Tapi, sepanjang jalan tak ada satu roti pun jadi rezeki saya sampai saya masuk di Masjidil Haram. Setelah dapat tempat untuk sholat saya duduk dan berdzikir. Perut sungguh semakin lapar.
Saya membuka bekal. Masya Allah, tiga biji kurma yang saya bungkus dengan tisu belepotan. Tisu menempel lekat pada kurma saya. Tidak mungkin memakan kurma yang bercampur tisu. Kurma pun terpaksa saya buang. Duh, terus saya berbuka dengan apa? Padahal dari Maghrib sampai Isya saya akan di sini terus.
Tatapan mata saya tertuju pada seseorang di depanku yang membagikan kurma, roti, dan kue. Jujur karena begitu laparnya, saya pun berdoa: semoga saya bisa mendapatkan makanan itu. Kebetulan saya duduk di belakang sendiri. Rasanya tidak mungkin bisa mendapatkan bagian.
Benar sekali. Belum sampai barisan paling belakang, makanan yang dibagikan itu sudah habis. Saya hanya menelan ludah sendiri. Di sisi lain, saya takjub dengan kebiasaan masyarakat Arab yang membagikan makanan untuk jamaah di hari Senin ini. Tentu untuk mendapatkan berkah orang yang berpuasa.
Dalam keadaan lapar menjelang Maghrib, air mata saya meleleh membasahi pipi. Berdoa dalam keadaan lapar itu nikmat. Ketika sedang khusyuk berdoa, saya tersentak kaget. Seorang anak kecil tetiba ada di depan saya. Dia memberi saya bungkusan berisi kurma, roti, yogurt, dan minuman hangat serupa jahe khas Arab. Anak itu seusia anak saya yang terakhir. Rasanya bersyukur dengan sepenuh-penuhnya.
Namun, setelah semua yang saya inginkan kini terjamin dan terpenuhi. Tetiba hati saya berseru: kemana air mataku yang tadi meleleh pad doa dalam laparnya puasa dan tak adanya menu berbuka. Kini setelah menu berbuka ada, hilanglah kecemasanku pada lapar, maka hilang pula air mataku yang begitu lembut, keluar dari doa dan ketakutan.
Sungguh saya pun tersadar. Dalam jaminan berbuka puasa yang sudah lengkap itu ternyata membuat nikmatnya berdoa dalam lapar puasa itu hilang. Itu salah satu alasan yang membuat puasa itu nikmat karena rasa laparnya mampu membangkitkan sisi keimanan dan kemanusiaan terbaik kita.