Dalam sambutannya, pemandu umroh menyampaikan: kami berharap jamaah umroh saling membantu, yang muda banyak membantu bapak ibu yang sudah tua, dan yang tua sayang pada yang muda. Ini salah satu pesan yang saya ingat sebelum keberangkatan umroh. Dan saya tergolong yang muda dalam kelompok umroh, maka harus diniati di awal untuk membantu yang sudah berusia lanjut.
Penerbangan dari Jakarta ke Jeddah akan segera diberangkatkan. Seleuruh penumpang pun segara melakukan boarding. Saya pun segera masuk pesawat dan mencari nomor tempat duduk. Saya menemukannya. Tempat duduk saya sangat strategis, berada di barisan tengah dan posisi tempat duduknya berada di tepi jalan. Jadi, sewaktu-waktu saya bisa ke toilrt tanpa mengganggu penumpang di sebelahnya.
Saat hendak duduk, seseorang memanggil saya dan meminta tukar tempat duduk. Ia ingin di sebelah istrinya yang tempat duduknya berada di sebelah saya. Tentu saja, dengan senang hati saya menerima. Saya menyilakannya dan saya duduk di tempat duduk dia.
Saya duduk di tengah pada barisan kursi samping pesawat. Tentu saja ini posisi yang tidak strategis, tetapi saya berusaha mensyukurinya. Di sebelah kanan saya ada bapak-bapak yang saya taksir usianya sudah mendekati 80 tahun, sedangkan sebelah kiri saya bapak-bapak berusia 60-an tahun. Keduanya sedang berdzikir dan berdoa, sedangkan saya asyik dengan khayalan dan pikiran sendiri. Inilah beda keimanan saya dengan keduanya.
Pesawat pun take off, saya tertidur lelap. Saya terbangun kaget saat dibangunkan pramugari karena sudah waktu makan. Makanan dibagikan pada kami yang satu kursi. Bapak di sebelah saya makan dengan tidak menggunakan sendok. Pramugari itu menegur, tetapi bapak sebelah kanan saya cuek dan kebingungan mencari sendok yang dibungkus tisu dalam plastik. Saya pun menunjukkan sendok itu, bapak itu kemudian makan dengan sendok.
Bapak itu makan sampai selesai. Lalu kami terlelap tidur kembali. Saya terbangun dan mendapati bapak itu dalam keadaan bingung. Saya menerka bapak itu mau ke toilet. Saya pun bertanya: bapak mau ke toilet? Bapak menganggukkan kepala. Saya langsung membantu bapak mengantarkan ke toilet dan menunggunya sampai selesai.
Kami kembali duduk di kursi pesawat. Saat itulah bapak mengucapkan terima kasih pada saya dengan pelan. Saya membaca bapak ini memang pendiam dan cuek, tetapi ketenangannya membuat saya yakin dia orang baik. Saat pesawat landing, saya pun mendampingi bapak sampai di bandara dan bertemu dengan kelompoknya. Bapak itu pun tetap banyak diamnya.
Tidak ada yang istimewa dalam cerita saya ini. Tapi, masalah muncul saat malam harinya. Salah satu teman menyampaikan bahwa salah satu anggotanya tertinggal saat tawaf sore tadi. Sampai malam ini belum ditemukan. Ternyata orang itu bapak yang saya ceritakan di atas.
Teman pun menceritakan nama bapak itu, sebut saja Pak Haji. Pak Haji paling sepuh dengan usia menjelang 80 tahun dan orangnya sangat pendiam. Saat itu saya langsung lemes. Teringat kembali wajah Pak Haji yang duduk di sebelahku itu. Saya mengirim fatihah dan doa-doa terbaik agar Pak Haji agar segera ditemukan. Terbayang ribuan bahkan jutaan jamaah yang ada di Masjidil Haral, Pak Haji diantaranya tanpa hape hanya mengandalkan identitas, pasti dalam keadaan bingung. Sungguh tidak terbayangkan.
Sampai pukul 12 malam belum juga ditemukan. Saya bayangkan betapa bingungnya beliau. Pasti sangat kasihan tersesat di antara jutaan orang. Saat pagi usai subuh saya mendapatkan kabar Pak Haji sudah ditemukan. Saya sangat senang sekali. Siang harinya pun saya mendapati Pak Haji sudah berada di lobby hotel dan duduk sendirian seperti biasanya dengan diam dan tenang.
Saya langsung mendekat padanya. Menciun tangannya lalu duduk di sebelahnya. Saya pun mengajaknya untuk bercerita kejadian yang telah dialaminya. Pak Haji pun bercerita dengan tenang:
Saya terpisah dengan kelompok saya saat sedang tawaf. Saya bingung, lalu menepi setelah tawaf selesai saya lakukan sendirian. Di area Kabbah itu saya menunggu teman-teman sampai Maghrib dan Isya. Saya lapar. Alhamdulillah ada yang memberiku roti dan susu. Tengah malam, saya pindah tempat ke lantai atas. Di sana saya hanya duduk dan diam sampai subuh. Di situlah ada orang Indonesia yang mendatangi saya. Saya pun bercerita dan ia membantu saya. Ia menghubungi nomor pendamping yang tertera di kartu identitas saya. Alhamdulillah pagi harinya, saya bertemu kembali dengan kelompok saya.
Pak Haji mengakhiri ceritanya dengan senyumnya yang tulus. Saya ikut tersenyun karena bersyukur dan banyak pelajaran penting yang saya dapatkan: selama di Makkah dan Madinah memang harus saling membantu. Tanpa saling membantu, sewaktu-waktu kita bisa tersesat. Inilah barangkali gambaran kehidupan kita di dunia. Harus terus saling membantu.