Dalam perjalanan pulang dari Jakarta, saya membawa banyak uang di rekening. Sebabnya, saya baru usai mengisi acara. Uang itu adalah hasil bayaran atas jasa saya sebagai pemateri. Tentu saja saya bahagia. Berbagai barang dan piknik yang saya impikan sudah berkeliaran di pikiran saya. Bayaran ini sangat cukup untuk membiayai semuanya.
Tetiba sebuah pesan masuk di ponsel saya. Pesan dari teman dekat yang mengajak saya untuk berinfak. Langsung buyar sudah imajinasi menyenangkan saya. Saya mendadak jadi bingung antara harus berinfak atau tidak. Pikiran saya pun berhitung dengan jahat: jika saya infak, maka impian saya untuk membeli barang kesukaan atau liburan akan ada yang dibatalkan. Jika saya tidak berinfak rasanya saya malu sama teman. Dia mengajak saya berinfak karena meyakini saya mampu.
Duh, mana yang harus saya pilih?
Tetiba nurani saya berkata begini: Her, kamu membeli barang atau piknik kan juga membuang uang. Kamu berinfak juga membuang uang. Kenapa buang uang untuk beli barang dan pikinik kamu merasa ringan, tetapi membuang uang untuk infak kamu merasa berat. Itu artinya kamu menyukai membuang uang untuk menyenangkan dirimu sendiri daripada membuang uang untuk orang lain.
Kamu itu jahat, Her!
Seketika saya langsung mentransfer uang untuk infak. Teman saya membalas dengan ucapan terima kasih dan doa-doa baik untuk saya. Saya mengamini dan rasanya lega.
Tapi, tetiba nuraniku berkata lagi: Her, kamu itu kan infak karena tidak enak sama teman dekat sendiri. Kamu takut dibilang pelit padahal banyak uang. Takut dan malu bertemu temanmu, jika kamu tidak infak.
Kamu itu jahat, Her!
Saya langsung menundukkan kepala. Saya sadar dalam berinfak saya masih tidak rela kehilangan kebahagiaan dan kesenangan pribadi. Saya berinfak karena saya masih takut jika dibilang pelit dan tidak enak jika bertemu teman dekat yang meminta infak.
Sungguh saya jahat!
