DERU GEMURUH KERETA API
Ada yang kunanti dari setiap kedatangan kereta api. Apa? Harapan! Ya, harapan atas tiga kekasihku yang semuanya pergi jauh setelah melakukan perjalanan dengan kereta api. Jadi jangan salahkan aku jika sampai hari ini aku masih suka membeli tiket kereta api. Jika sedang banyak uang, aku akan membeli tiket kereta eksekutif bahkan luxury. Tapi, jika tidak ada uang, maka aku cukup membeli tiket kelas ekonomi atau bisnis.
Dalam setiap perjalananku, aku memilih tiga tujuan yang berbeda. Kadang ke Jakarta karena kekasih pertamaku pergi ke sana. Lalu ke Yogyakarta karena kekasihku pergi ke sana. Lalu ke Bandung karena kekasihku juga pergi ke sana. Tujuannya sama: pergi untuk kuliah, dan kalimat perpisahannya pun sama, katanya, “Aku akan pergi untuk kuliah. Jadi pasti kembali. Kamu tidak usah risau jika beberapa tahun kita tidak akan bertemu!”
Ketiga kekasihku juga sama-sama tahu tentangku. Kata mereka, “Kamu itu lelaki paling cerdas yang pernah jadi pacarku. Paling baik dan paling setia. Tapi, juga paling tidak masuk akal!” Benarkah itu? Aku hanya mengangguk percaya sebab aku sendiri paling tidak tahu tentang diriku sendiri.
Tiket sudah kudapat. Selanjutnya akan mencetak kode booking dalam bentuk selembar tiket. Tiket itulah yang kemudian kugunakan untuk boarding. Setelah boarding, aku masuk ke stasiun dan menunggu kedatangan kereta di kursi tunggu. Di situlah akan kudengar suara yang selalu membangkitkan kenangan masa lalu: deru gemuruh kereta api.
Irama deru gemuruh kereta api yang penuh dendam. Aku ingat saat itu bertemu kekasih pertamaku di gerbong kereta api. Takdir mempertemukan kita dalam satu kursi untuk satu tujuan yang sama: Jakarta. Dia pergi ke Jakarta untuk alasan kuliah, sedangkan aku untuk bekerja. Tampak sekali dia mengagumi kecerdasanku. Di tempat itu pula dia menyatakan rasa sukanya padaku. Bahkan mau jadi pacarku. Aku pun menerima karena dia sungguh cantik buatku.
Kami menjalani cinta yang biasa saja. Bertemu di kotaku dan bermesraan beberapa hari. Lalu kembali melepasnya pergi di stasiun dalam deru kereta api yang penuh dendam. Semuanya pun hanya berjalan beberapa bulan. Tetiba dalam suatu perpisahan, dia berkata, “Aku pergi untuk kuliah. Jadi pasti kembali. Kamu tidak usah risau!” dia langsung menghilang begitu saja dihapus deru suara kereta api yang tak berperasaan.
Setelah itu, kereta api kembali mempertemukanku dengan seorang gadis berparas cantik. Kami bertemu di gerbong restoran saat sedang bersamaan memesan makanan. Dalam percakapan sederhana ini, kami kemudian berbagi nomor kontak. Dari berkirim pesan inilah, dia kemudian menyampaikan pesan cintanya padaku. Katanya, “Kamu itu cerdas. Aku suka lelaki yang cerdas. Maukah kamu jadi pacarku?” Tentu saja aku menerima karena dia sungguh cantik.
Yang paling membuatku semakin jatuh cinta pada dia adalah dia hanya mau memadu rindu denganku di kereta api. Aku pun mengikuti. Aku selalu pergi menyambangi dia di Yogyakarta dengan kereta api. Lalu dia naik kereta api. Sepanjang Yogyakarta hingga Jember dan Banyuwangi kami berpacaran. Rasanya indah dan mempesona. Cinta dalam gerbong kereta api memberi sensasi yang indah tidak terlupakan.
Tapi semua berakhir saat dalam pertemuan di gerbong kereta api, mendadak dia mengatakan, “Aku pergi untuk kuliah. Jadi pasti kembali. Kamu tidak usah risau!” Sementara, saat aku menyusulnya di Stasiun Yogyakarta, dia tidak kunjung datang menemuiku. Saat itu aku yakin nasib kekasihku sama dengan kekasih pertamaku. Hilang entang ke mana.
Kekasih ketigaku juga ditakdirkan bertemu di peron kerta api. Saat aku terburu-buru ingin buang air besar, aku menuju toilet. Tanpa kusadari aku masuk ke toilet perempuan. Aku lupa memperhatikan tanda di depan pintu. Dan saat aku keluar, sesosok gadis cantik sudah berdiri di hadapanku. Dia tersenyum melihatku. Aku terpukau melihat senyumnya. Aku pun meminta maaf padanya. Aku pergi berlalu.
Tapi, aku kelupaan. Gawaiku tertinggal. Aku baru menyadari saat perempuan itu mencariku dan menemukanku duduk di gerbong eksekutif 8 nomor kursi 9A. Dia mengembalikan gawaiku dan tentu saja aku mengucapkan terima kasih. Lalu kuajak makan snack yang kubawa. Kupikir dia akan menolak, tetapi ternyata dia menerima dengan suka cita. Di situlah kami berkenalan sampai kemudian jatuh cinta.
Dia pun mengungkapkan kekagumannya pada kecerdasanku. Katanya, sejak bertemu di toilet itu dia sudah suka padaku. Dia sudah membaca pikiranku kalau aku orang yang cerdas. Dia bercerita selama ini susah mendapatkan kekasih karena belum menemukan lelaki yang benar-benar cerdas sepertiku.
Dari situlah, aku jadi sering pergi ke Bandung untuk menemuinya. Tapi, ia hanya mau bertemu denganku di stasiun kereta api. Dia tidak mau bermesraan meluapkan rindu selain di stasiun. Jadilah kami selalu berpacaran di stasiun yang berbaur dengan suara deru kereta api yang silih berganti tanpa henti.
Tapi, suatu ketika, usai meluapkan rindu lewat pertemuan di stasiun, ia berkata lembut padaku, “Aku pergi untuk kuliah. Jadi pasti kembali. Kamu tidak usah risau!” Firasatku mengatakan pasti aku akan kehilangan dia. Ya, dan itu pun terjadi. Pada kunjunganku berikutnya, ia tidak menemuiku lagi. Ia telah pergi jauh.
Suara pemberitahuan kereta yang akan menuju ke Jakarta bergema. Kubuka tiket keretaku menuju Jakarta. Tapi, aku tak berani pergi ke sana. Tiket kereta itu kusobek. Aku lalu keluar stasiun. Aku pergi ke loket membeli tiket kereta yang menuju ke Yogyakarta dan Bandung. Setelah tiket tercetak, aku masuk stasiun.
Kereta dengan tujuan Bandung datang, tetapi aku tidak berani naik. Tiket kereta Bandung pun kusobek. Selang beberapa saat kereta dengan tujuan Yogyakarta. Entahlah, saat itu aku tidak berani menyobek tiket kereta itu. Aku pun berdiri dan melangkah menuju rangkaian gerbong kereta.
“Gerbong berapa?” suara seorang gadis berseragam mengagetkanku. Serentak aku memberikan tiketku yang bertuliskan gerbong 7 nomor kursi 6D. “Gerbong keretanya di sana, Mas,” seru gadis itu sambil menunjuk arah gerbong.
Aku melangkah menuju gerbong itu. Tapi, di depan pintu gerbong itu aku tidak berani masuk. Aku hanya diam di tempat sampai berlalu kereta itu. Semua orang di stasiun kereta menatapku aneh. Tapi aku tidak peduli. Bukankah hidup memang sudah aneh. Seaneh cintaku pada tiga kekasih yang jatuh cinta di dalam gerbong kereta api. Aku bergegas pergi dengan membawa cinta yang akan selalu kutitipkan pada suara kereta api yang bergemuruh dalam pikiranku yang katanya cerdas.
Besok aku akan membeli tiket kereta api lagi. Menanti lagi entah sampai kapan. Selama deru kereta api yang gemuruh itu masih ada, maka penantianku pada tiga kekasihku tak akan sirna. Semoga suatu waktu ada yang bisa kutemui salah satunya. Biar ada yang tahu bahwa kecerdasanku telah berubah jadi kesetiaan pada deru gemuruh kereta api yang tidak akan berhenti.
Heru Kurniawan
Founder Rumah Kreatif Wadas Kelir, Pengajar di UIN Saizu Purwokerto, dan Penulis Buku Aktivitas dan Bacaan Anak.